Minggu, 27 Maret 2011

Hasil Mengkaji Mahasiswa IPB Dengan Mentan RI 2004-2009

Press Release Kajian Pertanian* “Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Penghapusan Bea Impor Bahan Pangan”

Hari Jumat, 11 Maret 2011, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dipelopori oleh Departemen Pertanian dan Eksternal mengadakan diskusi pertanian dengan tema “Harga Gabah dan Pembebasan Bea Impor Masuk beberapa Produk Pertanian”. Kegiatan ini dilaksanakan mulai pukul 16.00 wib sampai 18.00 WIB bertempat di Koridor Pinus Faperta.

Diskusi yang menghadirkan dua tokoh luar biasa yaitu Menteri Pertanian RI 2004-2009 bapak Dr. Ir. Anton Apriantono, MS sekaligus dosen Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan bapak Feryanto W. Karo-Karo, Sp. Msi sebagai dosen dari fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Pada kesempatan ini juga hadir bapak Dr. Aris Munandar, Msi selaku wakil Dekan Fakultas Pertanian IPB. Sebagai peserta dalam diskusi adalah mahasiswa dan mahasiswi IPB dari Fakultas Pertanian & Perwakilan BEM seluruh Fakultas di IPB.

Acara dibuka oleh MC, Sigit Susanto, Ketua Departemen Eksternal BEM Faperta Kabinet Generasi Pembaharu. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Fajar Sidiq Al Afghani Noerman, Mentri Pertanian Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Kabinet IPB Bersahabat. Diskusi diawali dengan materi pengantar dari kedua pembicara dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang menghadirkan tiga penanya.

Diskusi ini membahas masalah harga gabah yang berada di bawah harga pembelian pemerintah serta pembebasan bea impor produk pertanian oleh pemerintah. Bapak Feryanto W. Karo-Karo berpendapat bahwa terjadinya harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah disebabkan oleh banyaknya impor beras yang dilakukan pemerintah pada awal tahun 2011 hingga bulan maret ini. Sementara, mayoritas masyarakat kita menjadikan beras sebagai makanan pokok utama. Akibatnya, sektor pertanian Indonesia terutama beras sangat rawan menjadi ladang politisasi pemerintah. Selain itu, apabila beras naik akan berpengaruh pada produk lain sehingga dapat menyebabkan naiknya inflasi. Jika inflasi naik, jumlah pengangguran di negeri ini akan meningkat.

Salah satu tugas yang tidak kalah penting adalah mengubah mindset masyarakat Indonesia untuk tidak menjadikan beras sebagai konsumsi utama. Salah satu solusinya yaitu dengan cara diversifikasi pangan. Tentunya, yang dimaksudkan adalah mengganti pangan kita dengan bahan lain selain beras dengan memperhatikan pola konsumsi masyarakat dan komoditas pangan unggulan daerah atau kearifan lokal masing-masing. Selain itu, dampak bagi petani juga harus diperhatikan sehingga tidak terdapat mafia di bidang pertanian.

Bapak Feryanto W. Karo-Karo juga menambahkan bahwa kebijakan pembebasan bea masuk impor produk pertanian bertujuan menjaga kestabilan harga pangan dalam negeri yang akhir-akhir ini mengalami masalah. Masalah yang menyebabkan hal tersebut antara lain adalah perubahan cuaca yang cukup ekstrim, sehingga para petani di beberapa daerah mengalami gagal panen. Selain itu, krisis Timur Tengah juga menyebabkan harga minyak dunia melonjak. Dengan dibebaskannya bea masuk, pemerintah berharap kondisi pangan jadi lebih baik. Namun, sayangnya petani kita belum siap dengan kondisi tersebut, produk pertanian belum mampu bersaing ditambah lagi penduduk Indonesia sebagian besar belum dapat menghargai produk lokal. Akibatnya, produk kita menjadi kalah bersaing dengan produk impor. Hal ini diminimalisir apabila petani memang telah dipersiapkan untuk menghadapi isu ini. Selain itu, koordinasi yang kurang baik antara pihak-pihak terkait perlu ditingkatkan. Ini dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah bahwa koordinasi antara bidang pertanian dengan bidang terkait sangat diperlukan sehingga kebijakan yang menyangkut pertanian dapat didiskusikan bersama.

Dalam kesempatan baik ini, bapak Anton Apriantono memberikan pencerdasan bahwa Indonesia tidak mengalami krisis pangan melainkan mengalami krisis kepercayaan. Dalam hal ini sangat dibutuhkan sikap kritis mahasiswa terkait anggapan bahwa petani adalah miskin. Benarkah demikian? Perlu digarisbawahi, yang miskin itu buruh tani atau petani? Karena apabila kasusnya adalah buruh tani maka tidak ada buruh yang sejahtera, contohnya buruh pabrik. Hal ini bukan bermaksud untuk untuk merendahkan profesi buruh, namun untuk memberikan kita pandangan bahwa petani sangat tidak layak dianggap sebagai profesi yang “rendahan”. Sebagai mahasiswa pertanian kita perlu membantu dalam mengkritisi dan meluruskan anggapan ini. Apalagi saat ini adalah masa ultraliberal yang tiap orang bebas berbicara.

Mengenai impor produk pertanian, Pak Anton mengatakan bahwa semua negara melakukan impor di bidang pertanian. Luas lahan pertanian di Indonesia lebih sedkit dibandingkan dengan negara produsen beras lain. Kepemilikan lahan pertanian Indonesia dengan jumlah penduduk sangat kecil, yaitu 0,3 ha, kita termasuk negara yang memiliki luas pertanian terkecil. Impor dilakukan karena cadangan beras sedikit. Bulog tidak dapat membeli beras dalam negeri karena apabila hal tersebut dilakukan harga beras akan naik. Bea masuk dinolkan karena memang harga sudah naik sehingga apabila dikenakan bea masuk, harga akan menjadi lebih tinggi.

Untuk memperbaiki pertanian ke depan dapat dilakukan dengan memperbaiki infrastrukturnya. Banyak masalah yang timbul berupa kurangnya perhatian pemerintah dalam hal infrastruktur pertanian, kemudian keadaan lahan pertanian yang kurang bagus, serta serangan hama yang terus menerus melanda tanaman petani Indonesia. Tentunya, perbaikan yang diharapkan adalah kerjasama semua pihak baik masyarakat, swasta, dan pemerintah.

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa adanya gabah di bawah HPP disebabkan karena banyaknya beras impor. Banyaknya impor ini disebabkan berbagai permasalahan baik yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri. Permasalahan di dalam negeri misalnya adanya pengaruh cuaca yang buruk yang memicu hama dan penyakit sehingga produksi beras dalam negeri menurun. Selain itu, konsumsi masyarakat terhadap beras yang tinggi sehingga menuntut pengadaan beras pada kondisi apapun. Sementara minat untuk memperbaiki pertanian sendiri sangat minim dari generasi muda, seakan-akan menjadi petani adalah merancang hidup miskin. Salah satu solusi yang dapat kita lakukan adalah diversifikasi pangan dengan mengubah pola pikir kita untuk kembali pada kearifan dan potensi pangan lokal di daerah kita.

Adanya bea masuk yang dinolkan adalah bertujuan untuk menjaga kestabilan harga dalam negeri. Harga produk sudah sangat tinggi sehingga khawatir adannya bea masuk khususnya bagi bahan pangan akan meningkatkan harga lagi. Namun, tentunya pembebasan bea masuk bahan pangan ini harus mempertimbangkan kesiapan petani kita agar di tahun depan produksi dalam negeri dapat maksimal sehingga persdiaan pangan tercukupi dan bea masuk dapat menjadi normal. Untuk itulah, tugas pihak akademisi khusunya mahasiswa adalah membantu petani sekaligus mengawali kebijakan pemerintah dengan kritis, sehingga tiap putusan adalah atas dasar kepentingan bersama bukan kepentingan politik tertentu.

*Merupakan kegiatan berkala dari Departemen Pertanian dan Eksternal Bem Faperta 2011.

Senin, 28 Februari 2011

Harga Gabah kaitannya dengan Penghapusan Bea Impor Pangan


Jumlah penduduk dunia diperkirakan pada tahun 2025 mencapai angka 8.04 miliar orang, sedangkan penduduk indonesia mencapai 316 juta orang. Dunia akan memerlukan 3046.5 juta ton bahan pangan, dengan produkvitas pertanian saat ini maka jumlah bahan pangan yang akan tersedia sebesar 2977.7 juta ton artinya dunia akan mengalami devisit pangan sebesar 68.8 juta ton. Sekarang pun krisis pangan sudah mulai dirasakan oleh negara-negara di dunia. Melihat hal tersebut negara-negara di dunia khususnya negara-negara Asia Tenggara mulai fokus pada pertaniannya dan sedikit demi sedikit mengurangi ekspor mereka, khususnya ekspor bahan pangan. Indonesia sendiri terjadi kekurangan stok beras untuk sekarang dan beberapa tahun kedepan di buktikan dengan stok di gudang Bulog kosong.

Pemerintah indonesia mengantisipasi hal tersebut dengan jalan menurunkan bea masuk impor menjadi 0 % dengan harapan mampu menarik eksportir luar negeri untuk memasok barangnya ke Indonesia. Hal ini mengakibatkan harga gabah di dalam negeri mengalami penurunan harga yang sangat drastis. Sehingga gabah para petani Indonesia harus rela dijual murah.

Harga gabah murah bukan hanya disebabkan oleh penurunan bea masuk impor saja, tetapi memang ada faktor lain yang ikut memengaruhi. Faktor-faktor dalam negeri yang cukup berpengaruh yakni mulai dari kualitas gabah petani yang kurang baik di karenakan serangan hama penyakit tanaman, lalu peran bulog sendiri belum maksimal dalam membeli gabah milik petani sertatidak meratanya pendistribusian beras di negara ini, sehingga gabah para petani dijual pada tengkulak-tengkulak yang sangat pandai dalam memainkan harga di pasaran. Perlu diingat lagi, penurunan harga gabah awalnya disebabkan oleh bebasnya impor bahan pangan yang sangat genjar khususnya beras. Walaupun Pemerintah membatasi pembebasan bea masuk impor bahan pangan tersebut sampai bulan Desember 2011 tetapi dampaknya tak jua reda pada bulan itu juga.

Melihat permaslahan negara ini yang tak kunjung menemui titk temu, apakah jalan yang di ambil pemerintah ini benar?, atau memang ada permainan politik di balik semua ini?, atau pun ada skenario lain?. Mari kita diskusikan bersama untuk menemukan solusi yang terbaik untuk negeri kita dalam menghadapi krisis panganyang sudah di depan mata.

Senin, 24 Januari 2011

Cabai Impor Menyerbu Pasar


Jakarta, Kompas - Sudah dua pekan terakhir cabai rawit merah impor dari China dan Thailand menyerbu pasar Jakarta dan sekitarnya. Para pedagang mencampur rawit impor yang harganya lebih murah dengan rawit lokal untuk menekan harga cabai yang di pasar Depok mencapai Rp 120.000 per kilogram.

Rum (50), Nuryanto (28), Rudy (29), dan Totok (25), pedagang yang ditemui di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (24/1), mengatakan, serbuan rawit impor ke pasar induk sudah berlangsung sejak dua pekan lalu.

Menurut mereka, harga rawit merah Thailand berukuran kecil Rp 55.000 per kg, sedangkan yang lebih besar Rp 40.000-Rp 45.000 per kg. Para pedagang cabai yang membeli rawit dari para pedagang besar di pasar induk mencampur rawit Thailand dengan rawit merah lokal yang harganya masih Rp 90.000 per kg. Dengan demikian, harga jual rawit merah oplosan di tingkat konsumen bisa ditekan.

Rudy dan Rum mengatakan, konsumen paling menggemari rawit merah lokal. Mereka lebih baik tidak makan rawit kalau rawitnya dari jenis lain, seperti rawit hijau dan rawit putih. Itu sebabnya, sejak harga rawit merah melambung, pasar rawit dari semua jenis melemah.

Untuk membangkitkan pasar rawit, para pedagang menengah dan pengecer kemudian mencampur rawit merah lokal dengan rawit merah Thailand yang berukuran kecil.

”Itu sebabnya, rawit caplak (rawit merah Thailand) yang kecil lebih mahal harganya daripada rawit caplak yang besar. Rawit caplak yang besar tidak bisa disamar dalam rawit merah campuran, sedangkan rawit caplak yang kecil bisa,” ucap Rudy.

Pedagang pengecer, Herianto (42), mengaku menjual rawit merah campuran seharga Rp 85.000 per kg. ”Saat ini jauh lebih menguntungkan berdagang rawit merah campuran,” katanya.

Pedagang cabai di Pasar Cengkareng, Jakarta Barat, Sumiyatun, mengatakan, rawit merah China dijual Rp 60.000 per kg, sedangkan rawit merah lokal dijual Rp 80.000 per kg.

Di Pasar Kramat Jati, rawit hijau dari Wonosobo, Jawa Tengah, dijual Rp 35.000 per kg, sementara rawit putih (rawit berwarna krem kekuningan) dijual Rp 37.000 per kg.

Masih tinggi

Di Depok, kemarin, harga rawit merah mencapai Rp 120.000 per kg. Berdasarkan pengamatan Kompas, bentuk rawit merah ini sama dengan rawit merah Thailand dan China. Saat ditanya mengenai kemungkinan ini, para pedagang menjawab tak tahu. Meski demikian, mereka memastikan bahwa rawit merah itu produksi tanaman lokal.

Harga cabai rawit merah di Depok pada tiga hari sebelumnya masih mencapai Rp 90.000 per kg. Para pedagang pengecer tidak tahu apa pemicunya sehingga harga cabai rawit merah kembali melambung.

”Saya terpaksa menjual dengan harga ini karena harga dari bandar Rp 110.000 per kg,” tutur Wiji (38), pedagang bumbu di Pasar Depok Jaya, Kota Depok, Jawa Barat, Senin.

Menurut Wiji, rawit merah yang dia jual itu kualitas super sehingga harganya tinggi. Hal itulah yang membuat Wiji tak berani menjual bahan pokok tersebut dalam jumlah besar. Dalam sehari dia hanya berani menjual 1 kilogram rawit merah.

Hanya berjarak kurang dari 1 kilometer, di Pasar Kemiri Muka, Depok, Senin sore, harga cabai rawit merah Rp 100.000 per kg. Pedagang Pasar Kemiri Muka, Anis (50), yang menjual 3 kg cabai rawit merah, mengaku, cabai yang dia jual dari kemarin belum juga habis.

Anis menjual rawit yang berbeda jenis dengan pedagang lain, tetapi harganya sama dengan harga cabai rawit merah. ”Saya tidak tahu ini cabai dari mana. Saya beli di sini (Pasar Kemiri Muka) dari bandar dan saya jual di sini juga,” kata Anis.

Harga rawit merah lokal di Pasar Cengkareng masih berkisar Rp 80.000 per kg. Adapun cabai merah keriting dijual Rp 50.000 per kg, turun dari semula Rp 58.000 per kg.

(NDY/NEL/ART/FRO/PIN/WIN)

Sabtu, 22 Januari 2011

COUNTRIES BY COMMODITY 2005 (FAO, 2009)

No Commodity Rank

1 Palm Oil 1

2 Cloves, Whole+Stems 1

3 Coconuts 1

4 Nutmeg, Mace, Cardamons 1

5 Avocados 2

6 Beans, Green 2

7 Fruit Tropical Fresh nes 2

8 Natural Rubber 2

9 Pepper,White/Long/Black 2

10 Vanilla 2

11 Cassava 3

12 Cocoa 3

13 Coffee, Green 3

14 Eggs, excluding Hen 3

15 Ginger 3

16 Nuts nes 3

17 Rice, Paddy 3

18 Roots and Tubers nes 3

19 Fruit Fresh nes 4

20 Sweet Potatoes 4

21 Cashew Nuts 5

22 Groundnuts in Shell 5

23 Papayas 5

24 Tobacco Leaves 5

25 Bananas 6

26 Chillies&Peppers, Green 6

27 Mangoes 6

28 Tea 6

29 Eggplants 7

30 Indigenous Chicken Meat 7

31 Indigenous Goat Meat 7

32 Beans, Dry 8

33 Green Corn (Maize) 8

34 Indigenous Buffalo Meat 8

35 Maize 8


"Prestasi komoditi indonesia di kancah dunia